“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana
dia diciptakan?”
(QS. Al Ghaasyiyah, 88:17)
|
Empat belas abad silam Allah menurunkan Al
Qur’an sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Saat itu, masyarakat Arab
benar-benar berada dalam kemunduran dan kekacauan. Namun, cahaya yang dibawa Al
Qur’an dengan sangat luar biasa mampu merubahnya.
Arab pra-Islam adalah bangsa biadab penyembah berhala buatan mereka
sendiri. Selain meyakini perang dan pertumpahan darah sebagai jalan kemuliaan,
mereka pun tega membunuh anak sendiri. Namun, dengan Islam mereka belajar nilai
kemanusian, rasa hormat, cinta kasih, keadilan dan peradaban. Bahkan tak hanya
bangsa Arab, semua masyarakat yang menerima Islam keluar dari gelapnya zaman
kebodohan (jahiliyah), dan tersinari hikmah Ilahiah yang dikandung Al Qur’an. Di
antara pencerahan Al Qur’an kepada manusia adalah pola pikir ilmiah.
Dasar berpikir ilmiah adalah rasa keingintahuan. Karena
bertanya-tanya tentang bagaimana jagat raya dan alam kehidupan bekerja, manusia
menyelidiki dan menjadi tertarik pada ilmu pengetahuan. Namun tidak banyak yang
memiliki rasa ingin tahu ini. Bagi mereka, yang penting bukanlah rahasia alam
semesta dan kehidupan, tapi keuntungan dan kenikmatan dunia yang sedikit.
Dalam masyarakat yang diperintah oleh para pemimpin yang berpola
pikir demikan, ilmu pengetahuan tidak berkembang. Kejumudan dan kebodohan
merajalela, sebagaimana yang membelenggu masyarakat Arab sebelum turunnya Al
Qur’an. Namun ayat-ayat Al Qur’an menyeru mereka berpikir, meneliti, menggunakan
akal mereka; sesuatu yang barangkali baru pertama mereka alami sepanjang hidup.
Dalam salah satu ayat Al Qur’an yang diturunkan di masa awal, Allah mengarahkan
perhatian masyarakat Arab kepada unta, hewan yang menjadi bagian kehidupan
mereka sehari-hari: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta
bagaimana dia diciptakan?” (QS. Al Ghaasyiyah, 88:17)
|
Di banyak ayat Al Qur’an lainnya, manusia diseru mengkaji alam dan
belajar darinya, sebab manusia dapat mengenal Pencipta hanya dengan meneliti
ciptaan-Nya. Karenanya, dalam sebuah ayat, kaum Muslimin disebut sebagai orang
yang berpikir tentang penciptaan langit dan bumi: “(yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali ‘Imran, 3:191)
Alhasil, bagi seorang Muslim, melakukan pengkajian ilmiah adalah
sebentuk ibadah yang sangat penting. Di banyak ayat Al Qur’an, Allah menyeru
kaum Muslimin untuk meneliti langit, bumi, makhluk hidup atau keberadaan diri
mereka sendiri, dan memikirkannya. Ketika mengkaji ayat-ayat tersebut, akan kita
temukan petunjuk tentang seluruh cabang utama ilmu pengetahuan dalam Al Qur’an.
Misalnya, dalam Al Qur’an, Allah menganjurkan mempelajari ilmu astronomi
sebagaimana berikut:
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu
sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang
tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang
tidak seimbang? (QS. Al Mulk, 67:3)
Di ayat lain, misalnya, Allah menyeru pengkajian terhadap ilmu astronomi dan
geologi (QS. Qaaf, 50:6-8), botani (QS. Al An’aam, 6:99), zoologi (QS. An Nahl,
16:66), arkeologi dan antropologi (QS. Ar Ruum, 30:9), ilmu tentang manusia (QS.
Adz Dzaariyaat, 51:20-21), dan lain sebagainya.
Demikianlah, dalam Al Qur’an Allah menyeru kaum Muslimin untuk mempelajari
semua cabang ilmu pengetahuan. Tidak heran jika dalam sejarah, perkembangan
Islam secara bersamaan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan.
--o0o--
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !