“Hai, Aleks, aku hanya minta satu saja,....!”
Ada sebuah kisah yang sangat inspiratif, yang melibatkan dua orang termashyur di dunia Yunani kuno. Anda tentu mau mengetahuinya, bukan? Baiklah. Tapi sebelum masuk ke kisah ini, baiklah saya ajukan sebuah pertanyaan kepada anda: Mana yang sudah mapan secara ekonomis: orang miskin yang tidak serakah, atau orang kaya yang terus serakah? Kisah tentang pertemuan Aleksander Agung dan filsuf Diogenes dari Sinope membantu kita menjawab pertanyaan ini.
Anda tahu Aleksander Agung (356-323 SM), sang penguasa Yunani dari Makedonia yang melancarkan kampanye global hellenisme pada abad 4 SM? Karena begitu adi-insaninya prestasi politik, militeristik dan kulturalnya dalam menjadikan hellenisme sebagai kebudayaan dunia kuno, sampai-sampai Aleksander Agung dipuja dan ditinggikan setingkat dewa, sebagai anak Allah, semasa dia masih hidup. Ketika dia sudah wafat, kultus pemujaan terhadapnya masih berlangsung, tidak lenyap, sekalipun pada zaman modern ini dia hanya meninggalkan nama besar saja. Seorang penulis biografi Aleksander Agung, Philip Freeman, menulis demikian tentang sosok besar dari dunia kuno ini di dalam bagian terakhir bukunya:
“Aleksander Agung adalah manusia dari zamannya sendiri yang dicirikan sangat banyak kekerasan. Tindakan-tindakannya tidak lebih baik atau tidak lebih buruk dari tindakan-tindakan Kaisar atau Hannibal. Dia membunuh berpuluh-puluh ribu warga sipil dalam kampanye-kampanye militernya yang menimbulkan teror di mana-mana. Hal yang sama juga dilakukan setiap jendral lainnya dalam dunia kuno. Seandainya dia hidup pada masa kini, pastilah dia akan divonis sebagai seorang penjahat perang; tapi dia tidak hidup di zaman kita…. Lepas dari apakah kita menyetujui atau tidak taktik-taktik perang Aleksander yang kerap brutal, setiap orang yang belajar sejarah dengan bernalar harus sepakat bahwa dia adalah salah satu pikiran militer terbesar segala zaman…. Untuk bisa memahami Aleksander dengan benar, kita harus menyadari bahwa dia membenci kekalahan, mungkin lebih dari orang lain manapun dalam sejarah. Aleksander dulu dan kini adalah pengejawantahan absolut ambisi-ambisi murni manusia dengan segala akibat baik dan akibat buruknya. Kita dapat mengutuki kematian dan kehancuran yang dia tinggalkan saat dia seperti raksasa melanglang buana untuk menaklukkannya; tapi pada akhirnya mau tidak mau kita mengaguminya sebagai seorang yang dengan gagah berani telah melakukan hal-hal yang sangat besar.”/1/Anda tahu, Diogenes dari Sinope, filsuf sangat miskin pendiri filsafat mazhab Sinik (cynicism), yang dilahirkan tahun 404 SM? Di dunia Yunani kuno, Diogenes sangat termasyhur khususnya karena ucapan-ucapan dan gaya kehidupannya. Dia dikenal dan dikenang sebagai seorang filsuf yang di siang bolong membawa sebuah lentera bernyala, menelusuri jalan-jalan mencari seorang manusia./2/ Dengan konsisten sang filsuf ini menjalankan suatu pola kehidupan yang senatural mungkin, menjauh dari bahkan sinis terhadap peradaban. Dia hidup dengan meminta-minta makanan dari setiap orang yang berpapasan dengannya. Kata Diogenes, “orang lain hidup untuk makan, tetapi aku makan untuk hidup.”/3/ Pola kehidupannya sama dengan pola kehidupan seekor anjing kampung yang menggelandang ke sana ke mari, tidak punya tempat tinggal, dikasari orang, tidak terurus, mengais-ngais mencari makan. Ketahuilah, kata Yunani kuno untuk anjing adalah kyon atau kuon, dan dari kata ini berasal nama aliran filsafat kynismos (Yunani) atau cynici (Latin) atau cynicism (Inggris). Dalam bahasa Indonesia, baiklah mazhab ini kita namakan mazhab Sinik.
Ada banyak anekdot yang mengungkapkan bagaimana Diogenes memandang dirinya seekor anjing. Beberapa di antaranya perlu dibagikan ke anda. Suatu ketika ada seseorang yang marah karena orang-orang memanggil Diogenes anjing. Kepada orang yang membelanya ini Diogenes berkata, “Engkau juga harus memanggilku ‘Anjing’; Diogenes hanyalah nama depanku; aku memang seekor anjing, tetapi anjing dari keturunan terhormat yang menjaga dan melindungi sahabat-sahabatnya.”/4/ Saat ditanya hal apa saja yang dia telah lakukan sehingga banyak orang memanggilnya anjing, Diogenes menjawab, “Aku mengibas-ngibaskan ekorku di hadapan orang yang memberiku sesuatu, menggonggong di depan orang yang tidak memberiku apa-apa, dan membenamkan gigi-gigiku ke tubuh para bajingan.”/5/ Diogenes biasa berkata, “Anjing-anjing lain menggigit musuh-musuh mereka, tetapi aku menggigit sahabat-sahabatku untuk menyelamatkan mereka.”/6/ Di suatu perjamuan malam, sejumlah orang melemparkan tulang-tulang kepada Diogenes seolah dia seekor anjing; tetapi dia membebaskan dirinya dari tulang-tulang itu dengan mengencingi semuanya seolah dia betul seekor anjing./7/
Selanjutnya, mari kita masuk ke kisah berikut, kisah yang sangat inspiratif. Saya jamin anda akan mengalami pencerahan batin dan budi lewat kisah luar biasa ini.
Konon suatu ketika Aleksander Agung mencari jalan untuk bisa bertatapmuka dengan sang filsuf besar Diogenes sang Sinik di tempat tinggal sang filsuf ini, di pinggir-pinggir jalan kota Athena. Akhirnya, Aleksander Agung berhasil mendapatkan Diogenes sang Sinik ketika sang filsuf ini sedang berjemur di bawah sorotan sinar Matahari, di samping sebuah gentong besar bak mandi tempat tinggalnya satu-satunya, di pinggir sebuah jalan./8/
Ketika Aleksander Agung sedang berdiri di hadapan Diogenes yang sedang berjemur, sang penguasa besar ini bertanya apa yang Diogenes mau minta darinya. Aleksander Agung tawarkan, pertama, jabatan tinggi atau, kedua, wilayah kekuasaan atau, ketiga, harta berlimpah kepada filsuf kere Diogenes yang sangat dikaguminya. Tentu saja Aleksander Agung punya niat tulus untuk mengubah kehidupan sang filsuf, dan mengangkatnya dari kemiskinan dan menjadikannya orang besar dan berkuasa.
Anda tahu, apa yang lantas diminta sang filsuf kere Diogenes kepada penguasa besar Aleksander Agung? Diogenes berkata, “Aku hanya minta satu saja, hai Aleks, tolong anda berdiri menyingkir ke samping supaya sinar Matahari tidak terhalang menyinari tubuhku!” Tentu saja Aleksander Agung sangat kaget dan merasa terhina dengan jawaban sang filsuf nekat ini. Bersama para pengawalnya dengan cepat dia meninggalkan Diogenes. Sang filsuf ini tetap aman-aman saja meskipun sudah sangat menjengkelkan Aleksander Agung. Itu konon kisahnya, sesudah saya parafrasiskan.
Dengan jawaban mengagetkan dari Diogenes itu, saya mau tanya kepada anda, apakah Diogenes atau Aleksander Agung yang sudah memiliki segalanya? Mana yang lebih besar? Mana yang sudah mapan? Hemat saya, Diogenes lebih kaya dan lebih besar dari Aleksander Agung, sebab Diogenes sudah tak memerlukan lagi tiga jenis kekayaan yang ditawarkan sang penguasa. Sedangkan Aleksander Agung masih dikuasai nafsu besar dan serakah untuk terus memperluas wilayah kekuasaannya, tanpa pernah puas, tidak pernah merasa mapan.
Siapapun yang merasa tidak perlu lagi memperoleh kekayaan dan kedudukan yang lebih banyak, lebih besar dan lebih tinggi, dialah orang yang sudah mapan. Diogenes sang filsuf papa dan kere lebih besar dan lebih mapan dari sang penguasa besar ambisius Aleksander Agung. Ini sebuah paradoks yang di dalamnya kita menemukan sebuah kebenaran yang mengherankan.
Diogenes hanya perlu cahaya Matahari untuk hangatkan tubuhnya; Aleksander Agung memerlukan kota-kota lebih banyak lagi, bahkan mungkin seluruh kota dalam dunia ini, untuk tunduk di bawah kekuasaannya melalui kampanye militernya yang seruduk sana seruduk sini bak seekor banteng raksasa yang sedang marah dengan sepasang matanya merah membara. Kata Lao-Tzu, “Saat anda mempunyai sedikit, anda memiliki. Saat anda punya sangat banyak, anda bingung dan kehilangan arah.” Orang yang sudah tidak memerlukan apa-apa lagi, sudah punya segalanya.
Orang yang terus serakah ingin memiliki, belum mempunyai apapun. Diogenes sang Sinik orang kecil yang besar; Aleksander Agung orang besar yang kecil. Hieronimus menulis bahwa “pengikut paling kondang Antisthenes adalah Diogenes agung, yang lebih besar dari Raja Aleksander karena dia telah menaklukkan alam.”/9/
Tapi saya sudah tahu bahwa anda, dan saya, lebih suka memilih menjadi Alekaander Agung ketimbang menjadi sang filsuf Sinik yang kere, Diogenes dari Sinope. Amit-amit, celoteh anda, saat anda ditawarkan untuk meniru sepenuhnya gaya kehidupan Diogenes.
Baiklah, jika kita maunya demikian! Marilah kita menjadi Aleksander Agung yang kaya raya dan berkekuasaan besar, sekaligus juga menjadi seorang filsuf yang dalam kesederhanaan dan kebersahajaan mencerdaskan sebanyak mungkin orang, lewat ilmu pengetahuan dan filsafat kita. Kalau ini kita capai, bisa jadi kita memenuhi ideal Plato yang mendambakan munculnya para filsuf-raja (philosopher-king) yang dapat memimpin dunia sekaligus mencerdaskan dan mencerahkan sebanyak mungkin orang. Tentu, kalau ini terlalu berat buat kita, ya kita jadi saja orang yang hidup cukup, tidak kaya tapi juga tidak miskin, dan sekaligus terpelajar, berwawasan jauh dan jujur sehingga kita juga dapat berperan sebagai guru untuk sejumlah terbatas manusia di sekitar kita, paling tidak untuk rumah tangga kita sendiri.
Konon suatu ketika Aleksander Agung mencari jalan untuk bisa bertatapmuka dengan sang filsuf besar Diogenes sang Sinik di tempat tinggal sang filsuf ini, di pinggir-pinggir jalan kota Athena. Akhirnya, Aleksander Agung berhasil mendapatkan Diogenes sang Sinik ketika sang filsuf ini sedang berjemur di bawah sorotan sinar Matahari, di samping sebuah gentong besar bak mandi tempat tinggalnya satu-satunya, di pinggir sebuah jalan./8/
Ketika Aleksander Agung sedang berdiri di hadapan Diogenes yang sedang berjemur, sang penguasa besar ini bertanya apa yang Diogenes mau minta darinya. Aleksander Agung tawarkan, pertama, jabatan tinggi atau, kedua, wilayah kekuasaan atau, ketiga, harta berlimpah kepada filsuf kere Diogenes yang sangat dikaguminya. Tentu saja Aleksander Agung punya niat tulus untuk mengubah kehidupan sang filsuf, dan mengangkatnya dari kemiskinan dan menjadikannya orang besar dan berkuasa.
Anda tahu, apa yang lantas diminta sang filsuf kere Diogenes kepada penguasa besar Aleksander Agung? Diogenes berkata, “Aku hanya minta satu saja, hai Aleks, tolong anda berdiri menyingkir ke samping supaya sinar Matahari tidak terhalang menyinari tubuhku!” Tentu saja Aleksander Agung sangat kaget dan merasa terhina dengan jawaban sang filsuf nekat ini. Bersama para pengawalnya dengan cepat dia meninggalkan Diogenes. Sang filsuf ini tetap aman-aman saja meskipun sudah sangat menjengkelkan Aleksander Agung. Itu konon kisahnya, sesudah saya parafrasiskan.
Dengan jawaban mengagetkan dari Diogenes itu, saya mau tanya kepada anda, apakah Diogenes atau Aleksander Agung yang sudah memiliki segalanya? Mana yang lebih besar? Mana yang sudah mapan? Hemat saya, Diogenes lebih kaya dan lebih besar dari Aleksander Agung, sebab Diogenes sudah tak memerlukan lagi tiga jenis kekayaan yang ditawarkan sang penguasa. Sedangkan Aleksander Agung masih dikuasai nafsu besar dan serakah untuk terus memperluas wilayah kekuasaannya, tanpa pernah puas, tidak pernah merasa mapan.
Siapapun yang merasa tidak perlu lagi memperoleh kekayaan dan kedudukan yang lebih banyak, lebih besar dan lebih tinggi, dialah orang yang sudah mapan. Diogenes sang filsuf papa dan kere lebih besar dan lebih mapan dari sang penguasa besar ambisius Aleksander Agung. Ini sebuah paradoks yang di dalamnya kita menemukan sebuah kebenaran yang mengherankan.
Diogenes hanya perlu cahaya Matahari untuk hangatkan tubuhnya; Aleksander Agung memerlukan kota-kota lebih banyak lagi, bahkan mungkin seluruh kota dalam dunia ini, untuk tunduk di bawah kekuasaannya melalui kampanye militernya yang seruduk sana seruduk sini bak seekor banteng raksasa yang sedang marah dengan sepasang matanya merah membara. Kata Lao-Tzu, “Saat anda mempunyai sedikit, anda memiliki. Saat anda punya sangat banyak, anda bingung dan kehilangan arah.” Orang yang sudah tidak memerlukan apa-apa lagi, sudah punya segalanya.
Orang yang terus serakah ingin memiliki, belum mempunyai apapun. Diogenes sang Sinik orang kecil yang besar; Aleksander Agung orang besar yang kecil. Hieronimus menulis bahwa “pengikut paling kondang Antisthenes adalah Diogenes agung, yang lebih besar dari Raja Aleksander karena dia telah menaklukkan alam.”/9/
Tapi saya sudah tahu bahwa anda, dan saya, lebih suka memilih menjadi Alekaander Agung ketimbang menjadi sang filsuf Sinik yang kere, Diogenes dari Sinope. Amit-amit, celoteh anda, saat anda ditawarkan untuk meniru sepenuhnya gaya kehidupan Diogenes.
Baiklah, jika kita maunya demikian! Marilah kita menjadi Aleksander Agung yang kaya raya dan berkekuasaan besar, sekaligus juga menjadi seorang filsuf yang dalam kesederhanaan dan kebersahajaan mencerdaskan sebanyak mungkin orang, lewat ilmu pengetahuan dan filsafat kita. Kalau ini kita capai, bisa jadi kita memenuhi ideal Plato yang mendambakan munculnya para filsuf-raja (philosopher-king) yang dapat memimpin dunia sekaligus mencerdaskan dan mencerahkan sebanyak mungkin orang. Tentu, kalau ini terlalu berat buat kita, ya kita jadi saja orang yang hidup cukup, tidak kaya tapi juga tidak miskin, dan sekaligus terpelajar, berwawasan jauh dan jujur sehingga kita juga dapat berperan sebagai guru untuk sejumlah terbatas manusia di sekitar kita, paling tidak untuk rumah tangga kita sendiri.
Referensi:
/1/ Philip Freeman, Alexander the Great (New York, N.Y.: Simon and Schuster, 2011), hlm. 329-330.
/2/ Diogenes Laertius 6.41; G272; Maximus 70.20; G272. Dikutip dari Robin Hard, penerjemah,Diogenes the Cynic: Sayings and Anecdotes, with Other Popular Moralists (Oxford World’s Classics; Oxford: Oxford University Press, 2012), hlm. 19.
/3/ Stobaeus 3.6.41; G182. Dikutip dari Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 14.
/4/ Gnomologium Vaticanum 194; G 149. Dikutip dari Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 24-25.
/5/ Diogenes Laertius 6.60; G 143. Dikutip dari Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 25.
/6/ Stobaeus 3.13.44; G 149. Dikutip dari Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 24.
/7/ Diogenes Laertius 6.46; G 146. Dikutip dari Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 25.
/8/ Kisah ini parafrasis dari sedikit anekdot yang dijumpai dalam Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 53-54.
/9/ Hieronimus, Against Jovinian 2.14; G175. Dikutip dari Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 10.
-o)(o-
/1/ Philip Freeman, Alexander the Great (New York, N.Y.: Simon and Schuster, 2011), hlm. 329-330.
/2/ Diogenes Laertius 6.41; G272; Maximus 70.20; G272. Dikutip dari Robin Hard, penerjemah,Diogenes the Cynic: Sayings and Anecdotes, with Other Popular Moralists (Oxford World’s Classics; Oxford: Oxford University Press, 2012), hlm. 19.
/3/ Stobaeus 3.6.41; G182. Dikutip dari Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 14.
/4/ Gnomologium Vaticanum 194; G 149. Dikutip dari Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 24-25.
/5/ Diogenes Laertius 6.60; G 143. Dikutip dari Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 25.
/6/ Stobaeus 3.13.44; G 149. Dikutip dari Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 24.
/7/ Diogenes Laertius 6.46; G 146. Dikutip dari Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 25.
/8/ Kisah ini parafrasis dari sedikit anekdot yang dijumpai dalam Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 53-54.
/9/ Hieronimus, Against Jovinian 2.14; G175. Dikutip dari Robin Hard, Diogenes the Cynic, hlm. 10.
-o)(o-
menginspirasi sekali kisahnya
BalasHapusfree roaming xl di malaysia