Headlines News :
Home » » Memahami "PLATONISME"

Memahami "PLATONISME"

Plato: 427 - 347 SM (seorang filsuf dan matematikawan Yunani, penulis philosophical dialogues dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, sekolah tingkat tinggi pertama di dunia barat. Ia adalah murid Socrates, sehingga Pemikirannya pun banyak dipengaruhi pada Socrates. Plato adalah guru dari Aristoteles).

Platonisme : ajaran filsafat Plato yang menganggap bahwa benda sebenarnya tiruan dari ide dan hanya ide yang patut diselidiki oleh akal budi.

Love does not consist in gazing at each other but in looking outward together in the same direction
Ungkapan ini lebih dikenal dengan cinta Platonis yang dicetuskan oleh seorang plato dalam naskah yang berjudul Symposium. Platonis adalah sebuah prasyarat untuk mencintai jiwa lebih daripada tubuh. Kahlil gibran menjelaskan platonis dengan lebih dalam :
Isi setiap cangkir lain, tapi tidak minum dari satu cangkir
Mencintai satu sama lain, tetapi tidak membuat ikatan cinta
Berikan hati Anda, tetap tidak saling menjaga
Berdiri bersama namun tidak terlalu dekat untuk bersama-sama
Teori-teori plato tentang platonis
1. Dunia ini sebagaimana tampak pada indera-indera kita tidak merupakan dunia real. Ada dua wilayah: wilayah nyata yang berisi Ide-ide Abadi Sempurna dan Tidak Berubah, yang diketahui hanya oleh intelek kita; dan wilayah ilusi, atau kurang nyata, yaitu wilayah objek-objek konkret, individual serta berubah, yang diketahui oleh indera-indera kita dan yang ada sebagai salinan atau tiruan yang tidak sempurna dari Ide-ide Sempurna. Dunia real bersifat nonspasial dan nontemporal. Dunia aktual bersifat spasial dan temporal.
2. Entitas-entitas abstrak seperti hal-hal universal, jiwa,  ada dalam dunia real tanpa tergantung pada konsep kita tentang hal-hal itu, dan mereka lebih real daripada objek-objek inderawi (yang dapat diamati).
3. Manusia, melalui penggunaan rasionya, dapat mengendalikan emosi-emosinya yang mendasar dan kodratnya yang irasio: dan karena itu berkembang setara moral dan spiritual. Manusia melakukan kejahatan karena mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang kebaikan.
4. Pengetahuan kefilsafatan tentang yang benar, yang baik yang indah bersifat esensial bagi perkembangan kebenaran serta bimbingan yang tepat terhadap diri sendiri dan orang lain. Pengetahuan ini dapat dicapai dengan penggunaan rasio sec; ketat melalui proses dialektis.
5. Manusia memiliki jiwa dan jiwa itu tidak dapat mati (imort);
6. Ada suatu spiritualitas dan suatu rasionalitas yang meliputi seluruh alam semesta.
Jika dengan Platonisme dimaksudkan sederetan filsafat yang dibentuk oleh pemikiran Plato, banyak sekali filsafat yang menjadi acuan:
1. Pertama-tama tentu saja Akademi Plato yang berlangsung dari 385 SM - 529 M. Betapapun jauh menyimpang dari pemikiran Plato, nama Plato dihormati dan sebagian ketentuan pemikirannya dipertahankan.
2. Kendati mengritik teori ide Plato, Aristoteles memasukkan! sebagai unsur formal dalam substansi sensibel. Maka, dari arti tertentu, filsafat Plato diteruskan dalam Lyceum Aristotel.
3. Gerakan Neoplatonisme, yang muncul sejak abad ke-I. Sehingga abad ke-I M, melanjutkan dan menekankan aspek-aspek mistik pemikiran Plato.
4. Philo Judaeus menggabungkan pemikiran Platonis dengan tradisi keagamaan Yahudi, seraya menempatkan alam ide-Plato dalam pikiran ilahi sebagai pola penciptaan. Maka, ide-ide mulai sebagai ide-ide dalam pikiran ilahi. Dengan prinsip emanasi ide-ide itu menjadi alam ide-ide. Jadi, Philo mempertahankan otonomi Allah dan sistem Plato.
5. St. Agustinus melanjutkan tradisi Philo. Atas dasar pengalamannya sendiri, ia yakin Platonisme sebagai langkah atau tahap awal dan perlu dalam penerimaan pemikiran Kristen.
6. Filsafat Islam meneruskan tradisi-tradisi pemikiran Platonik maupun Aristotelian, yang untuk kurun waktu yang panjang menafsirkan keduanya dalam kerangka Neoplatonisme.
7. Pada Abad Pertengahan para Fransiskan cenderung mengabadikan modus pemikiran Agustinian dan Platonik. Penekanan ini tampak nyata dalam Erigena, Anselmus, dan Bonaventura.
8. Dalam Renaissance mesti disebutkan tidak hanya Nicholas dari Cusa dan Petrarch, tetapi juga Akademi Fiorentina, yang mencoba menghidupkan kembali Akademi Plato di Italia. Pletho, Ficino, dan Pico Delia Mirandola berperan penting dalam gerakan ini.
9. Di Inggris John Colet, Thomas More, dan kaum Platonis Cambridge, termasuk Ralph Cudworth, Henry More, Benyamin Whichcote, dan lain-lain adalah kaum Platonis.
10. Pada tahun-tahun terakhir A.N. Whitehead, yang menganggap filsafat Barat sebagai deretan catatan kaki bagi Plato, memperkenalkan ke dalam filsafatnya “objek-objek eternal” yang sangat mirip dengan ide-ide Plato.
Teori Ide-ide dari Plato
1. Walaupun indra-indra kita menyingkapkan bagi kita hanya dunia yang selalu menjadi dan perubahan yang merupakan semacam titik tengah antara eksistensi sejati dan non-eksistensi (ketiadaan) — rasio (nous) maju terus untuk menemukan Ide- ide, bentuk-bentuk, objek-objek abadi yang tidak dapat di-inderai. Kesemuanya ini ada di atas dan melampaui hal-hal inderawi dari dunia ini dan memberikan makna yang sejati bagi dunia yang berubah dan kehidupan manusia. Segala sesuatu yang dapat berubah berpartisipasi dalam Ide-ide tersebut, serta menirunya. Naik ke dunia Ide-ide, khususnya kepada Yang Baik dan Yang Indah, terjadi karena keinginan besar (passion) dan eros yang merupakan cinta (Platonis) yang menghasratkan dan mengupayakan hal yang indah dan hal yang benar. Ide Ide tersebut berlabuh dalam Allah (Ide Kebaikan).
2. Dunia tidak diciptakan: Materi dibentuk oleh Demiurge menjadi kosmos dan dijiwai dengan satu jiwa-dunia. Jiwa tersebut merupakan prinsip gerakan dan kehidupan. Ia berasal dai suatu dunia yang lebih tinggi yang melampaui dunia ini. Naiknya roh manusia ke kontemplasi Ide-ide tersebut terjadi melalui anamnesis (ingatan/kenangan) akan Ide-ide tersebut yang dilihat secara intuitif oleh jiwa. Jiwa dapat memiliki instuisi itu karena sebelumnya pernah hidup di dunia ide. Proses ini digerakkan oleh barang-barang material yang merupakan bayang-bayang kabur dari Ide-ide tersebut.
3. Tujuan kehidupan manusia ialah menjadi seperti Allah, Ide Sempurna dari Yang Mutlak. Kondisi untuk memperoleh tujuan ini ialah pembentukan dan pendidikan yang tepat dalam dan melalui komunitas yang terorganisir secara rasional. Plato melukiskan komunitas ideal ini secara rinci dalam karyanya, Tl. Republic dan — kendati kurang radikal — dalam risalahnya tentang hukum yang dikarang pada usia tuanya. Sebagaimana harus ada harmoni dalam jiwa manusia antara tiga bagiannya – hal yang bersifat nikmat, marah, dan yang rasional — demikian juga harmoni dan keadilan harus merajai dalam masyarakat atau negara.
Unsur Negara
Negara juga mempunyai tiga bagian: para filsuf sebagai penguasa. para tentara sebagai pelindung dan rakyat biasa yang bergelut dalam urusan bisnis. Setiap bagian hendaknya memenuhi fungsi yang diberikan kepadanya. Suatu program pendidikan dan latihan yang cermat hendaknya mempersiapkan para filsuf dan merupakan tentara bagi posisinya dalam masyarakat. Dua kelompok ini hendaknya tidak mempunyai milik pribadi. Harta, isteri dan anak-anak merupakan milik bersama, dan diatur menurut atur: yang sangat ketat.
Melalui buku yang ke-10 Plato berupaya mengambil sikap melawan keyakinan-keyakinan yang primitif dari rakyat awam dan sikap-sikap skeptis dari kaum sofis muda berkaitan dengan masalah-masalah universal tentang imortalitas pribadi, tujuan akhir manusia, dan tentang tanggung jawab dalam kehidupan nanti atas perbuatan-perbuatan kehidupan sekarang ini.
Neo Platonisme
Platonisme mengalami kebangkitan kembali dalam neo-Platonisme, Agustinus, Renaisance dan paling sedikit mempunyai pengaruh pada kebanyakan filsuf besar dari tradisi Barat. Setelah dipengaruhi secara mendalam oleh Sokrates, Plato semula bermaksud menjadi pendidik kaum muda Atena, mengikuti contoh komunitas Pythagoras. Tatkala rencana ini gagal, dia mendirikan Akademi dan menyatukan ide-ide filosofisnya ke dalam Dialogues-nya. yang sungguh-sungguh masyhur. Dia mendasarkan usul-usulnya bagi pembaruan politik pada pandangannya tentang dunia. Dan ini mencakup keyakinannya bahwa terdapat nilai-nilai yang tidak berubah, serta berlaku umum.

**(Catatan: Ide pada pemikiran filsafat Plato bukan bermakna gagasan seperti yang kita artikan sehari-hari, tapi merupakan suatu roh yang hidup yang tidak tampak).


PENDAHULUAN
Menarik apa yang dikatakan Mohammad Hatta yang ditulis menjadi buku, beliau mengilustrasikan sejarah filsafat Yunani sebagaimana pertumbuhan hidup manusia. Masa kecilnya, menurut beliau bermula dengan tampilnya Thales, Thales melahirkan pandangan baru dalam alam pikiran Yunani. Masa ini berlanjut sampai kepada Sokrates. Selanjutnya menuju kemasa gagah dan bijaksana (muda) ialah masa filsafat klasik, yang puncaknya terdapat pada masa Aristoteles. Sesudah masa Aristoteles berlalu, kata Hatta, maka selanjutnya adalah masa tua. Masa tua itu meliputi masa yang sangat lama sekali, dari tahun 322 SM Sampai tahun 529 SM. Delapan setengah abad lamanya, dari meninggalnya Aristoteles sampai ditutupnya sekolah filsafat yang dihabisi oleh kaisar Bizantium, Justinianus. Sesudah itu filsafat Yunani kembali kedalam sejarah.
Menurut Hatta, masa filsafat Yunani pada masa ini dalam garis besarnya dapat dibagi dua, yaitu masa etik dan masa religi. Dalam masa etik terdiri dari tiga sekolah filsafat, yaitu Epikuros, Stoa, dan Skeptis. Nama sekolah yang pertama diambil dari kata pembangun sekolah itu sendiri yaitu Epikuros. Adapun nama sekolah yang kedua, diambil dari kata ”Stoa” yang berarti ruang. Sedangkan nama Skeptis, diberikan karena mereka kritis terhadap para filosof klasik sebelumnya. Ajarannya dibangun dari berbagai ajaran lama, kemudian dipilih dan disatukan.
Dalam masa religi ada tiga aliran yang berperan, yaitu aliran Neopythagoras, Aliran Philon, dan Aliran Plotinus atau Neoplatonisme. Tetapi disini kami hanya akan membahas satu aliran saja yaitu Neoplatonisme. Untuk lebih jelasnya, kami akan merincinya satu- persatu.
PEMBAHASAN
  1. A.  Riwayat Hidup Plotinus
Plotinus dilahirkan di Lycopolis (Mesir) pada tahun 203 M. Di zaman itu agama Kristen sudah berkembang di daerah timur dan eropa. Plotinus sendiri tinggal di daerah Mesir, dekat dengan salah satu pusat agama Kristen, Alexandria. Ia juga berguru pada seorang yang bernama Ammonius Saccas, yang mengajarkan padanya filsafat. Kemudian ia sempat pergi ke Persia dan bersentuhan dengan budaya timur disana. Semuanya ini membuat filsafat Plotinus yang merupakan analisis serta kritik dari aliran filsafat yang berkembang diwaktu itu. Dari ajaran Plato, Kristen, Filsafat Timur, Epikuros dan Stoa, serta Gnostik. Kedekatannya pada ajaran Plato kemudian mengimbuhkan label Neoplatonisme pada ajaran Plotinus.
Plotinus tidak semata-mata seorang filsuf, ia adalah seorang mistikus, mungkin terpengaruh dari Kristen atau filsafat timur. Sebagai seorang mistikus, ia bukan hanya merumuskan metafisika, melainkan mengacu kepada kembali ke Sang Asal, sumber dari segala sesuatu. Sesuatu yang tidak ditemui pada ajaran Plato.
B. Filsafat Plotinus
1. To Hen (Yang Esa)
Sang sumber segala sesuatu, yang dinamakan TO HEN. Yang Satu, adalah sesuatu yang tidak terdefinisikan, mirip dengan para Brahman, dalam ajaran Hindu. Ia adalah sesuatu yang tidak dapat dinamakan, tidak dapat dibayangkan, sesuatu yang dapat dipahami dengan logika negatif (via negative). Karena tidak bisa dinamakan, maka TO HEN pun sebenarnya bukan nama yang layak. Penamaan ini semata-mata karena sebagai manusia kita tidak bisa menghindari pemakaian kata-kata.
Konsep TO HEN tidak sama dengan konsep Tuhan dalam ajaran monoteisme, karena TO HEN bukan sesuatu dengan daya kreatif yang menciptakan alam semesta. Alam semeta mengalir, atau memancar darinya sebagai sebuah keniscayaan. Ia adalah sumber dari segala sesuatu dan tidak membutuhkan segala sesuatu. Ia mampu mencukupi dirinya sendiri. Segala sesuatu memancar dari dirinya secara otomatis. Pandangan ini jangan dilihat seperti materi penciptaan alam semesta ada pada dirinya, sehingga dari “tubuhnya” ia menciptakan alam semesta, seperti yang dijelaskan oleh mitologi Babilonia misalnya, yang mengatakan bahwa alam semesta dibentuk dari Tiamat, naga raksasa yang mengandung semua dewa. Pandangan ini lebih baik dijelaskan seperti hubungan antara penari (sang pencipta) dengan tariannya (ciptaan). Atau bayangan sang pencipta adalah seorang pemain musik, dan musiknya adalah ciptaannya.
Thomisme kemudian melihat persoalan ini dan mengatakan bahwa TO HEN yang otomatis mencipta tidak dapat diterima, karena dengan demikian ia tidak memiliki kehendak bebas. Kritik ini kurang tepat karena kehendak bebas dalam konsepsi Plotinus diletakkan bukan di TO HEN, melainkan di Nous, yang akan dijelaskan lebih lanjut dibawah.
Pandangan ini juga bisa dilihat dari kaca mata Panteisme. Panteisme Plotinus kurang lebih sama dengan Panteisme Spinoza. Panteisme tidak dilihat dengan pandangan sempit bahwa alam adalah Allah. TO HEN ada dalam setiap ciptaan, tetapi semua ciptaan bukanlah TO HEN. Ciptaan sebagai pancaran dari TO HEN, seperti bayang-bayang dari dia, yang lebih tidak sempurna darinya. Dan ketidaksempurnaan ini bertingkat-tingkat sampai kepada hirarki yang paling bawah yaitu materi.
Emanasi ini jangan dilihat sebagai sesuatu yang berada di dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu justru adalah hasil dari emanasi. Ruang dan waktu adalah pengertian dari dunia materi yang merupakan emanasi terakhir.
  1. 2.      Nous (akal)
Nous atau intelek atau akal adalah emanasi pertama dari TO HEN. Sebagai emanasi yang paling dekat dengan TO HEN, Ia memilki kemampuan untuk berkontemplasi tentang TO HEN. Ia adalah sesuatu yang bisa memikirkan tentang subyek, yaitu dirinya sendiri, yang sedang berfikir, dan objek, sesuatu yang sedang dipikirkan. Ini tentunya mirip dengan rescogitans dalam filsafat Descartes. Dalam hal ini Descartes setuju dengan Plotinus dengan mengatakan Nous, atau rescogitans dalam istilah Descartes, sebagai prinsip pertama.
Sebagai emanasi dari TO HEN, Ia kurang sempurna dari TO HEN. Nous tidak lagi satu, melainkan telah mengalami keterpisahan satu sama lain. Ia benar dalam dirinya sendiri, dan mutlak pada dirinya sendiri, seperti yang terlihat dari fenomena suara hati. Keterpisahan inilah yang melahirkan otonomi.
Nous sebagai prinsip otonom, berdikari .Keotonoman ini melahirkan kehendak bebas. Ia bisa berkontemplasi keatas ke TO HEN, namun ia juga bisa jatuh kebawah, menuruti psyche. Terlihat disini kalau Plotinus mau memasukkan konsep jatuhnya Adam kedalam dosa kedalam filsafatnya. Bedanya, ia tidak meletakan label dosa pada proses jatuhnya Nous ke psyche, melainkan sekedar sesuatu yang alami yang merupakan keniscayaan kehidupan yang beremanasi dari TO HEN.
  1. 3.      Jiwa
Emanasi yang pertama dari TO HEN adalah dasar yang pertama(arkhe) yaitu Nous, dan emanasi berikutnya adalah lokasi (topos) yaitu Jiwa. Lokasi memungkinkan emanasi berikutnya yaitu materi memiliki tempat. Psykhe ini berfungsi seperti benih yang melahirkan materi, oleh karena itu ia dinamai logoi spermatikoi.
Jiwa adalah prinsip dipertengahan, ia mampu berkontemplasi keatas, memberikan informasi dari dunia materi kepada Nous, dan dilain pihak secara aktif beremanasi kebawah, menciptakan dunia materi. Jiwa ini basa dipandang seperti nafsu, yang membuat manusia mengikatkan diri dengan dunia materi, baik mencipta atau mengkonsumsinya.
Manusia dijelaskan oleh Plotinus dengan menggunakan nous dan jiwa ini. Ia memang bias berkontemplasi ke TO HEN karena ia memiliki nous, tetapi ia juga memiliki tarikan kebawah kemateri karena ia memiliki jiwa.
Jiwa disini tidak sama dengan jiwa dalam pengertian Plato. Jika Plato melihat bahwa jiwa terpenjara dalam tubuh dan baru bisa dibebaskan dengan kematian, Plotinus sebagai seorang mistikus, melihat kemungkinan bahwa jiwa bisa melepaskan diri dari tubuh. Jiwa secara hirarkis berada diatas materi, sehingga ia mampu menguasai materi.
Jiwa merupakan akhir alam akal (rohani) dan menjadi permulaan makhluk-makhluk yang terdapat pada alam indrawi. Karena itu, ia mempunyai pertalian dengan kedua alam tersebut. Jiwa mempunyai bermacam-macam kekuatan, dan dengan kekuatannya ia menempati permulaan, pertengahan dan akhir segala sesuatu. Menurut Inge, jiwa tersebut adalah pelancong pada alam metafisika dan menurut Brehier, didalam jiwa ada kerinduan dan gerakan.
Ada tiga aliran yang membicarakan soal jiwa dan yang didapati oleh Plotinus. Pertama, ialah aliran Stoa yang memandang jiwa sebagai kekuatan pengatur. Kedua, ialah aliran Pytagiras yang menganggap turunnya jiwa kealam indrawi sebagai suatu kemerosotan derajat. Ketiga, ialah aliran yang masih berbau Pytagoras, yakni yang menganggap bahwa alam indrawi ini buruk.
Plotinus telah mengambil aliran pertama, serta melangkahkan pikirannya sejauh mungkin, dan menganggap setiap kekuatan yang bekerja dalam alam ini adalah jiwa atau bertalian dengan jiwa. Ia juga berpendapat bahwa langit mempunyai jiwa, tiap-tiap binatang juga mempunyai jiwa, dan bumi juga mempunyai kekuatan yang menumbuhkan. Plotinus sama pendapatnya dengan aliran Pytagoras tentang jiwa menjadi rendah (hina), tetapi ia berbeda dengan aliran Gnostik, karena ia menganggap bahwa alam indrawi mencapai kesempurnaan setinggi mungkin yang dapat dicapainya.
  1. 4.      Materi
Materi adalah emanasi terakhir yang paling jauh dari TO HEN. Ia adalah emanasi dari jiwa dunia (anima mundi). Materi yang berada dihirarki terbawah sepenuhnya pasif, menerima pencurahan dari atas, ia karena sepenuhnya pasif, tunduk pada hukum deterministic. Materi tidak sepenuhnya jahat. Ia jahat kalau dilihat dari hubunganya dengan prinsip diatasnya. Menurut Plotinus, sumber kajahatan adalah keinginan jiwa untuk terus mencipta. Ini juga bukan sesuatu yang dikatakan dosa, karena jiwa memang memiliki kecenderungan seperti itu. Karena keterikatannya pada materilah, jiwa lupa pada ikatannya diatas, kepada nous. Fenomena ini bisa dijelaskan oleh orang yang sudah terperangkap oleh nafsu sehingga tidak bisa berfikir rasional.
Plotinus dengan ajaran emanasinya tidak menjelaskan sumber kejahatan berasal juga dari Sang Pencipta, seperti halnya ajaran Gnostik, yang melihat alam ini jahat karena Demiurgos, sang pencipta alam semesta, adalah jahat. Plotinus memotong akar kejahatan sampai pada jiwa saja. Pada nous sendiri sudah tidak ada kejahatan, yang ada hanya keterpisahan.
  1. 5.      Remanasi
Seperti telah dikatakan sebelumnya, Plotinus juga seorang mistikus dan mengklaim mengalami pengalaman mistik didalam hidupnya. Dengan demikian ia tidak hanya tertarik untuk berfilsafat namun mencari jalan untuk kembali ke TO HEN (remanasi).
Materi sebagai bagian yang paling jauh dari TO HEN adalah bagian yang paling gelap atau jahat. Disini terlihat pengaruh aliran Gnostik yang melihat dunia sebagai dualism, yang mengatakan bahwa materi pada dasarnya adalah jahat. Ia adalah hirarki terakhir yang menerima penciptaan dari atas, dan punya kecenderungan untuk menarik hirarki di atasnya yaitu jiwa ke bawah. Dengan demikian usaha remanasi yang pertama adalah melawan materi, yang dalam prakteknya bisa dilakukan dengan berpuasa misalnya. Dalam bahasa latin ini disebut dengan purificatio, yaitu memurnikan diri, melepaskan diri dari materi.
Hal ini adalah persiapan untuk melakukan langkah kedua, yaitu pencerahan. Pengaruh filsafat timur terlihat disini. Pencerahan artinya melepaskan diri dari persepsi indrawi, dan memenuhi diri dengan pengetahuan tentang idea. Ini sama dengan ajaran Plato dan Aristoteles, yaitu episteme.
Langkah yang terakhir, adalah penyatuan diri dengan TO HEN, yang diberi nama ekstasis oleh Plotinus. Ekstasis adalah sebuah upaya mengatasi keterpisahan atau diferensiasi dari nous yang melihat diri sebagai subyek. Jika ia bisa mengatasi batasan diri ini, dengan melihat bahwa aku sama dengaan dia, sama dengan semua, dengan demikian juga adalah TO HEN. Disinilah terlihat bahwa Plotinus pada dasarnya adalah seorang mistikus, dan ia menyusun keseluruhan filsafatnya untuk menuju kesini. Pada titik ini ajarannya sama dengan ajaran mistik yang lain, baik dari tradisi timur, hindu, budha, tradisi barat, ataupun yang di kejawen dikenal dengan manunggaling kawulo Gusti, menyatu dengan Allah.
C. Plotinus dan Tasawuf
Teori Plotinus tentang Yang Esa bersifat fikiran dan tasawuf bersama-sama, meskipun sebenarnya kedua corak ini saling berlawanan. Teori tersebut biasa terdapat pada masa Plotinus, sebagai akibat percampuran fikiran Yunani dengan agama-agama timur. Tuhan terlihat dalam waktu yang bersamaan sebagai batas pertama bagi penafsiran rasionil terhadap alam semesta dan juga menjadi objek pengetahuan langsung dan intuisi batin. Plotinus mengambil teori sebagai berikut:
“Yang terbaik pada benda matter adalah form, kalau benda mengetahui, tentu mencintai form”
“Pada alam ini terdapat urutan-urutan yang (vertical), sehingga tiap-tiap perkara (wujud) menjadi lebih baik, bila dibandingkan dengan perkara (wujud) yang dibawahnya. Yang lebih baik dari pada benda ialah form, dan yang lebih baik daripada badan ialah jiwa, dimana tanpa jiwa ini badan tidak bisa wujud dan tidak tetap. Yang lebih baik daripada jiwa adalah keutamaan, dan diatas keutamaan adalah akal. Diatas akal adalah wujud yang kita sebut Yang ”Pertama.”
Jadi kebaikan adalah tujuan tertinggi yang bisa dicapai oleh jiwa yang cinta, dan (cinta) disini bukanlah cinta kepada perkara-perkara yang inderawi. ”Selama orang-orang yang cinta bertautan dengan hal-hal yang inderawi, berarti mareka tidak cinta. Tetapi dengan melalui gejala luar ini, mereka membentuk pada jiwanya yang tidak terpisah-pisah suatu gambaran yang tidak terlihat. Dengan demikian maka timbullah kecintaan”.
Cinta tasawuf adalah cinta hakiki yang sempurna dan yang tidak berhubungan dengan obyek tertentu yang terbatas.
”Tidak ada batas kecintaan yang kita rasakan untuk kebaikan. Memang cinta disini tidak mengenal batas, karena yang dirindukan sendiri adalah zat yang tidak mengenal batas. Keindahannya lain daripada keindahan biasa ia adalah keindahan diatas keindahan”.
Cinta tersebut baru terdapat sesudah mengalami penderitaan-penderitaan, dan hanya dapat dimiliki oleh para yang meninggalkan perkara-perkara yang ada sekarang dan membersihkan dirinya dari semua gambaran. Pada saat ini jiwa merasakan pingsan dan menyaksikan kebenaran. Tetapi penyaksian ini pendek masanya dan jarang terjadi.
Demikianlah jalan kecintaan yang dapat membawa kita kepada kebaikan (Tuhan). Kebaikan bukan menjadi kebaikan karena dicintai, melainkan dicintai karena ia baik. Dengan demikian maka Plotinus sampai kepda jalan yang kedua, yakni jalan akal fikiran, dengan berusaha untuk menafsirkan jalan cinta dengan tafsiran rasionil.
Tinjauan sepintas lalu tentang filsafat Plotinus, menunjukkan bahwa ia menganggap kehidupan agama berbeda sama sekali dengan kehidupan akal pikiran, karena perbedaan tabiat dan alamnya. Berkali-kali Plotinus menandaskan, tidak mungkin mengetahui tabiat (hakikat) Yang Esa dengan melalui akal pikiran. Pengetahuan ini baru dapat dicapai dengan jalan sinar ke-Tuhanan dan perhubungan dengan-Nya (isyraq wa ittishal).
D. Unsur-Unsur Ketimuran Pada Filsafat Plotinus
Kita melihat bahwa akal menurut Plotinus, menjadi alat pengetahuan, dan juga merupakan zat yang universal, dimana semua perkara (makhluk) berlarut padanya dan juga keluar dari padanya. Fungsi akal yang pertama berhubungan erat dengan fikiran Helenisme (Yunani), sedang fungsi yang kedua, berakar pada fikiran bukan Yunani, meskipun agak mirip dengan filsafat aliran Stoa.
Persoalan ini telah disinggung oleh Emile Brehier, dan mengatakan bahwa semua persoalan tersebut berkisar pada satu persoalan saja, yaitu pertalian kita sebagai makhluk partial dengan zat yang universal. Ringkasnya, bagaimana zat universal terdapat dimana-mana dengan keuniversalanya ,tetapi meskipun demikian tetap universal?.
Persoalan ini tidak dikenal oleh filsafat Yunani. Pertalian partial dengan zat universal bagi Plotinus merupakan kesatuan tasawuf, dimana zat partial hilang. Bukan pertalian akal pikiran (rasionil), seperti yang dibataskan oleh Plato, Aristo dan filosof-filosof Stoa.
Sejarah Plotinus menunjukkan bahwa ia setelah selesai mempelajari filsafat Yunani, maka ia ingin melihat filsafat Persi dan India. Karena itu ia memasuki tentara Kaisar Gordianus yang menyerang negeri Persi. Kepercayaan mereka yang terpenting pada waktu itu terletak pada pemujaan terhadap Mitra. Kepercayaan agama ini menjadikan zat yang Maha Tinggi sebagai sumber sinar yang mengirimkan cahayanya, kemudian membakar benda dan menyinari kegelapannya.
Porphyre ketika menceritakan sejarah hidup gurunya, Plotinus mengatakan bahwa gurunya tersebut dengan asyiknya mempelajari filsafat orang-orang barbar, yakni filsafat bukan yunani, dan banyak mengambil dari padanya kesatuan ”saya” (Atman) dengan zat universal (Brahman) yang terdapat dalam buku Upanishad dari india. Dalam kitab-kitab agama Hindu juga ada prinsip lain yang kita dapati dalam Plotinus dan yang asing bagi filsafat Yunani. Ajaran ini menganggap bahwa persatuan ”saya” dengan “zat universal” tidak mungkin terjadi dengan pengetahuan universal, melainkan dengan jalan intuisi, dan intuisi ini dapat diperoleh dengan latihan-latihan rohani dan renungan.
PENUTUP
Demikianlah sejarah ringkas filsafat yunani pasca Aristoteles. Diantaranya ada Epikuros, Stoa, dan Skeptis dari periode etik. Kemudian ada juga Neo Platonisme dari periode mistik. Berikut penjelasannya secara ringkas.
Ajaran filsafat Plotinus mengajak agar manusia melaksanakan inti ajarannya tentang jiwa sebagai tujuan hidup. Sebagai tujuan hidup dikatakannya ialah mencapai kebersatuan dengan Tuhan. Menyucikan diri ialah budi yang paling tinggi, karena itu merupakan jalan satu-satunya menuju cita-cita kemurnian.
Benda yang ada disekitar hidup manusia hendaknya diabaikan dan jiwa itu harus mencoba semata-mata hidup dalam lingkungan alam rohaniyah dan alam pikiran. Hanya dalam alam rohaniyah dan alam pikiran itulah jiwa dapat melatih diri untuk mencapai langkah terakhir, yaitu bersatu dengan Tuhan. Ini hanya dapat dicapai dengan mengembangkan perasaan yang luar biasa, yaitu rasa keluar dari diri sendiri dengan ekstase.
Dalam pembuatan dan perumusan makalah kami yang sangat sederhana, tentulah banyak suatu kekurangan yang akan timbul apabila makalah kami diteliti oleh seorang ahli ataupun pembaca yang budiman. Hal ini terjadi karena memang kami masih dalam proses belajar. Dengan kondisi dunia keilmuan yang bersifat dialektikan maka suatu karya pastilah terdapat kekurangan.
Oleh karena itulah, sebagai intelektual yang terus belajar menuju suatu kebenaran yang subtansial, maka kami berharap kepada pembaca yang budiman agar memberikan saran yang konstruktif sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA: 
Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tintamas, 1986, cet. 3
Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat; Dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosial – Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004, cet. 2
Delfgaauw, Bernard. Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Penerjemah: Soejono, Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, cet. 1
Hanafi. Filsafat Skolastik, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983, cet. 2
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum; Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2009, cet. 17
-o0o-
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Choose Your Own Language

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © Pebruari 2017 - FRIDA ACEDA - All Rights Reserved
Design by Utak-Atik Mediatama Sumedang