Headlines News :
Home » » MENGENANG MARHAENISME SOEKARNO DAN MARXISME

MENGENANG MARHAENISME SOEKARNO DAN MARXISME

Prasasti Marhaen

Marhaenisme adalah salah satu upaya Soekarno untuk menentang elitisme. Gagasan Marhaenisme Soekarno adalah usaha untuk mengangkat harkat rakyat kecil di dalam proses perjuangan kemerdekaan. Marhaenisme lahir dari pertemuan Bung Karno dengan seorang petani bernama Marhaen. Pertemuannya dengan petani Marhaen bagi Soekarno adalah titik di mana buku (baca: teori) bertemu dengan bumi (baca: kenyataan di lapangan).

Konteks perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak lain adalah perjuangan melawan penjajahan (kolonialisme) yang kapitalistik. Para pejuang kemerdekaan Indonesia, termasuk Soekarno, tentu saja membaca dan memakai dalil-dalil filsafat Marxisme yang dirumuskan oleh Karl Marx dan Engels untuk melawan kolonialisme kapitalistik tersebut. Soekarno kemudian membumikan teori Marxisme itu, sehingga pas dan kontekstual dengan keadaan sosial-politik-budaya (masyarakat) Indonesia. 

Marxisme melihat bahwa sistem kapitalisme adalah sistem di mana kelas atas (pemodal/kapital) yang jumlahnya jauh lebih sedikit itu menindas kelas proletar. Kapitalisme itu kemudian melahirkan kolonialisme dan imperialisme. Di dalam paradigma Marxisme, kelas proletar adalah kelas pekerja (buruh) yang tidak memiliki modal/kapital, dan hanya memiliki waktu dan tenaga untuk bekerja di perusahaan-perusahaan milik kelas pemodal. Karena hanya memiliki waktu dan tenaga produksi, tetapi sama sekali tidak memiliki alat produksi, kelas proletar menjadi teralienasi (terasing) dari hasil kerjanya. Sehingga, kelas proletar ini tertindas. Di dalam paradigma Marxisme, diharapkan kelas proletar inilah yang kemudian menjadi komponen utama dalam revolusi melawan kolonialisme kapitalistik dan dalam menciptakan suatu tatanan masyarakat baru yang lebih adil.

Soekarno Sang Orator

Akan tetapi, ketika Soekarno bertemu dengan petani Marhaen, Soekarno mendapati bahwa petani Marhaen ini memiliki waktu, tenaga, dan sekaligus memiliki alat produksi. Namun, tetap saja petani Marhaen ini miskin dan tertindas. Berbeda dengan kaum proletar (kelas pekerja/buruh) yang tertindas karena tidak memiliki alat produksi, petani Marhaen ini memiliki alat produksi tapi tetap saja tertindas. Melihat kontekstualitas keadaan di Indonesia tersebut, Soekarno merumuskan Marhaenisme. 

Dengan Marhaenisme, Soekarno berharap bahwa, sebagaimana kaum proletar, kaum marhaen ini kemudian menjadi komponen utama dalam revolusi melawan penjajahan. Bahkan, Soekarno berkata bahwa Marhaenisme akan berkembang dan menjadi “Sosialisme Indonesia dalam praktik”. Marhaenisme, kata Soekarno, “menolak tiap tindak borjuisme” yang merupakan sumber dari kepincangan yang ada dalam masyarakat. Soekarno berpandangan bahwa orang tidak seharusnya berpandangan rendah terhadap rakyat, sebab bagi Soekarno rakyat merupakan “padanan mesianik dari proletariat dalam pemikiran Marx”. Bagi Soekarno, rakyat adalah “kelompok yang sekarang ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi yang nantinya, ketika digerakkan dalam gelora revolusi, akan mampu mengubah dunia”.

Sebagaimana kaum proletar dalam Marxisme, kaum marhaen dalam Marhaenisme itu miskin, berada di lapisan bawah masyarakat, dan jutaan jumlahnya. Namun, berbeda dengan kaum proletar dalam Marxisme yang bekerja untuk kepentingan pemodal (kaum kapital), kaum marhaen bekerja untuk diri mereka sendiri dan memiliki alat produksinya sendiri (misalnya: cangkul dan tanah garapan). Di mata Soekarno, kaum marhaen itu lebih luas cakupannya dibandingkan dengan kaum proletar. Kaum marhaen itu mencakup buruh dan juga petani serta setiap orang Indonesia yang miskin. Bagi Soekarno, kaum marhaen ini merupakan bagian penting dalam upaya “mengusir setiap bentuk kapitalisme dan imperialisme”

(Baskara T. Wardaya, SJ., 2009, Bung Karno Menggugat!: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S, edisi revisi, Yogyakarta: Galangpress, 49-50) 
(Franz von Magnis, SJ., 1977, Ringkasan Sejarah Marxisme dan Komunisme, diktat untuk keperluan mahasiswa STF Driyarkara dalam rangka acara Filsafat Sosial Abad ke-19 dan ke-20, Jakarta: STF Driyarkara, 19, 44-45).


Soekarno Muda


Soekarno Bepidato di PBB


Wasiat dan Fakta di Balik Kematian Bung Karno

Oleh: Alwi Shahab

Pada 21 Juni 1970 Presiden pertama RI wafat dalam usia 69 tahun. Sungguh tragis, orang yang sejak muda tidak pernah absen berjuang untuk negaranya, meninggal dalam kesepian. Hanya tiga tahun, setelah SI MPRS bulan Maret 1967 mencabut kekuasaannya sebagai Presiden. Padahal, majelis tertinggi negara ini juga yang telah mengangkatnya sebagai presiden seumur hidup pada 1963 dan berbagai gelar lainnya.

Bung Karno, yang pada SI MPRS 1967 juga dilarang melakukan kegiatan politik, boleh dikata mulai saat itu hidup seperti layaknya seorang tahanan. Hampir tidak ada lagi kawan-kawannya yang dapat menemuinya karena ia memang sulit untuk ditemui tanpa izin terlebih dulu. Tidak terkecuali mantan wakil presiden Bung Hatta.

Saat hendak menjenguknya di RSPAD, Hatta harus meminta izin dulu kepada Pak Harto melalui Jenderal Tjokropranoto, sekretaris militer Presiden. Demikian terisolirnya Bung Karno, hingga ia dilarang menerima surat-surat pribadi secara langsung. Tanpa disensor lebih dulu.

Berita-berita tentang dirawatnya Bung Karno di RSPAD Gatot Subroto, dalam keadaan gawat, lima hari sebelum wafatnya, mengejutkan masyarakat karena boleh dibilang hampir tidak ada kegiatan Bung Karno yang diberitakan media massa. Kecuali, secara luas diketahui Bung Karno cukup lama 'dirawat' di Wisma Yaso (kini Musem Mandala) Jl Gatot Subroto, Jakarta Pusat.

Menjelang wafatnya Bung Karno, Aspri Presiden Jenderal Ali Moertopo melapor pada Pak Harto di Bina Graha. Menjawab pers entah dengan alasan apa Ali Moertopo menyatakan: "Saya tidak regret (menyesal) bila Bung Karno meninggal dunia."

Soekarno Sholat bersama Hatta
Ketika Umroh


Perjumpaan Terakhir Fatmawati dengan Sukarno


Setelah Bung Karno meninggal dunia, Pak Ali di hadapan para pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI) membantah ia membuat pernyataan seperti yang disiarkan pers. Ia menyalahkan pers Istana dalam kasus berita tentang Bung Karno ini.
Padahal, saya dan belasan wartawan lainnya, dengan jelas mendengar pernyataannya itu. Beberapa tahun lalu, ketika para wartawan senior yang pernah bertugas di Istana mengadakan 'reuni', seorang reporter RRI mengaku sampai kini masih memiliki tape yang memuat pernyataan Pak Ali Moertopo itu.

Melihat adanya perlakuan yang tidak baik terhadap suaminya waktu itu, Ny Fatmawati minta agar sebagai orang tua Bung Karno diperlakukan dengan sopan santun sesuai ajaran agama dan adat ketimuran. Ia juga menyatakan tunjangan untuk Bung Karno dan keluarganya Rp 100 ribu per bulan.

Menurut Ibu Fat ia terakhir kali berjumpa dengan Bung Karno Februari 1970, ketika menikahkan Guntur. "Di situ Bapak sudah sukar berjalan sendiri sehingga harus dibantu." Sedangkan Rachmawati, putri keduanya yang sering menjenguk ayahnya di Wisma Yaso menyatakan, "Tidak benar Bapak sudah pikun. Hanya saja Bapak sangat malas bicara."

Wasiat Sukarno kepada Cindy Adam


Sejak gawatnya keadaan Bung Karno, banyak pihak mempersoalkan di manakah ia akan dimakamkam. Apalagi, jauh sebelum ia meninggal, Bung Karno telah melahirkan keinginannya atau semacam wasiat mengenai kematian dan pemakamannya. Di bawah ini kami cuplikan pernyataan Bung Karno seperti tertulis dalam buku: Sukarno, an Autobiography as told to Cindy Adam. 

"Aku ingin meninggal cepat dan tenang di tempat tidur. Apabila tiba ajalku, aku ingin sekedar menutup mata dan menyerahkan diri kepada Tuhan." 

Soekarno berdoa bersama Hatta


Selanjutnya Bung Karno menyatakan, "Kuperingatkan kawan-kawanku agar aku tidak dikuburkan seperti Mahatma Gandhi. Kawan baikku Nehru memperhias makam Gandhi dengan berbagai perhiasan. Itu terlampau mewah."

"Aku ingin beristirahat di bawah naungan pohon yang rindang, dikelilingi pemandangan indah, di samping sebuah sungai yang segar airnya dan indah tampaknya. Dan aku menginginkan tempat peristirahatanku terakhir di Priangan." 
Selanjutnya Bung Karno menyatakan, "Selalu menjadi keinginanku agar peti matiku dibungkus dengan bendera Muhammadiyah. Aku tidak menghendaki gelar-gelarku semua dijejerkan di atas batu nisanku. Apabila hal itu terjadi maka rohku akan kembali ke muka bumi ini, karena aku pasti tidak akan tenang dalam keadaan itu. Maka janganlah buat monumen yang besar bagiku. Apabila aku meninggal dunia, kuburkan Bapak sesuai dengan agama Islam, dan di atas sebuah batu yang kecil dan sederhana ini, tulislah: Di sini berbaring Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia."


Jenazah Soekarno disemayamkan di Wisma Yaso



Dimakamkan di Blitar


Memang akhirnya Bung Karno dimakamkan di Blitar, berdampingan dengan makam ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Sebelumnya, ketika pelepasan jenazah dari Wisma Yaso menuju Bandara Halim PK, jalan sepanjang kurang lebih 10 km itu dipadati masyarakat. Di antaranya banyak yang melelehkan air mata dan terisak-isak saat melepas jenazah Bung Karno.

Makam Bung Karno di Blitar - Jawa Timur

Wafatnya Bung Karno mendapat reaksi dari para pemimpin dunia, sementara surat-surat kabar di luar negeri memberitakannya di halaman muka. Presiden AS Richard Nixon dalam komentarnya menyatakan, "Kepergiannya telah menandai babak baru dalam sejarah Indonesia. Karena Sukarno merupakan bagian erat dari sejarah."


"Dr Sukarno adalah kecintaan Rakyat Mesir dan guru saya," kata Presiden Gamal Abdel Nasser. 

"Ia adalah seorang pejuang yang berani dalam melawan kolonialisme," komentar PM Malaysia Tengku Abdurahman, sekalipun ia dan Bung Karno pernah saling bermusuhan saat berkonfrontasi.


INI WASIAT TERAKHIR SOEKARNO SOAL HARTA AMANAH
“SALAH BESAR JIKA KALANGAN PERS INDONESIA BERTANYA KEPADA ISTRI DAN ANAK SOEKARNO TENTANG KEBENARAN HARTA AMANAH SOEKARNO SELAMA INI.” 

Perihal Wasiat Prisiden Soekarno

Sejak awal Soekarno memang sudah mengklaim dirinya tidak punya apa-apa apalagi harta milik pribadinya yang harus ia titipkan kepada anak-anaknya. Ia adalah presiden termiskin di dunia hingga kini.
Berkenaan dengan Harta Amanah Soekarno (HAS) pun ia menulis dua lembar surat wasiat tertanggal 12 Januari 1967 yang dikukuhkan oleh stempel UBS. Itu berarti, surat wasiat ini dibuat tiga bulan sebelum Soekarno mengakhiri kekuasaannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada 12 Maret 1967.
Tandatangan Soekarno dalam dokumen tersebut menggunakan tinta berwarna hijau yang menjadi ciri khasnya. Wasiat tersebut masih gunakan bahasa Indonesia ejaan lama. Inilah isi surat wasiat tersebut.
“Bersama ini, Soekarno atas nama seluruh Rakyat (huruf ‘R’ besar -Red) yang tercinta, dan atas nama Pemegang Harta yang Rakyat titipkan dan percayakan kepadaku, karena mengingat kondisi dari kesehatanku dan kondisi dalam tubuh Kabinetku sendiri, maka sangat perlu aku mengambil jalan yang aku pikir sangat tepat untuk mengamankan nasib BANGSA dan RAKYAT yang sebagian tidak tahu tentang harta yang aku tinggalkan di Luar Negeri.
Hanya sebagian saja dari Orang-orangku yang tahu, namun aku juga masih sangsi akan kesetiaan mereka terhadap Bangsa/Rakyat Indonesia.
Sering didalam kesendirian aku melamunkan dan membayangkan seandainya SURAT WASIAT KEKAYAAN RAKYAT ini jatuh ke tangan orang yang tidak mau tahu akan jerit tangis Rakyat yang sangat tertindas, bagaimana rasa TANGGUNG JAWABKU di kemudian hari. Maka kepada siapa saja yang MEMBAWA atau yang MENDAPAT ” SURAT WASIAT” ini, aku berharap mau (bersedia) menghubungi pengacaraku Mr. X (maaf rahasia negara -Red) yang berada di negara X (maaf rahasia negara -Red).
Sangat bahagia sekali kalau diantara Rakyatku mau dan sanggup memikirkan nasib BANGSA YANG TERCINTA ini. Didalam kesempatan ini aku juga berharap jangan sampai diantara ANAK dan ISTRIKU mengetahui ini semua. Aku tinggalkan ini bukan buat (untuk) mereka, buat (untuk) KESEJAHTERAAN RAKYAT BANYAK. Sekali lagi jangan mereka (Anak dan Istriku) mengetahui hal ini. 
Selain itu, aku juga tinggalkan Surat-surat berharga dan SURAT KUASA/ SURAT PELIMPAHAN yang sudah aku tanda tangani. Hanya orang-orangku saja yang sudah aku tunjuk untuk mewakili kalau aku benar-benar ada halangan atau meninggal dunia. Kiranya cukup SURAT WASIAT ini aku buat guna memperlancar usaha mensejahterakan Rakyat, kalau Tuhan tidak memberiku usia panjang, maka SURAT WASIAT ini bisa buat siar yang menyatakan bahwa BANGSAKU INI ADALAH BANGSA YANG BESAR.
Dan “SURAT WASIAT” ini aku buat dalam dua bahasa, INGGRIS dan INDONESIA.
“SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA”
Jakarta, 12 Januari 1967
ATAS NAMA SELURUH RAKYAT INDONESIA, Presiden, Panglima Tertinggi Angakatan Perang Republik Indonesia
Ttd
Mr. Soekarno

Soekarno Bersama Soeharto
Kenangan Soekarno dan John F Kennedy 1961
Masjid St.Petersburg, Rusia Saksi Bisu Jejak Soekarno


---oo0oo---
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Choose Your Own Language

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © Pebruari 2017 - FRIDA ACEDA - All Rights Reserved
Design by Utak-Atik Mediatama Sumedang