Headlines News :
Home » » Arti Tawasul dan Memaknainya

Arti Tawasul dan Memaknainya



Arti Tawasul adalah mendekatkan diri atau memohon kepada Allah SWT dengan melalui wasilah (perantara) yang memiliki kedudukan baik di sisi Allah SWT.

وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَة
Artinya : Dan carilah jalan yang mendekatkan diri ( Wasilah ) kepada-Nya. (Al-Maidah:35).

Tanya : Seandainya tawassul kepada selain Allah tidak diperbolehkan, lantas mengapa shahabat pernah beristi’adzah kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, seperti dalam hadits :

أَعُوذُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ أَنْ أَكُونَ كَوَافِدِ عَادٍ

“Aku berlindung kepada Allah dan Rasul-Nya dari menjadi seperti utusan kaum ‘Aad ? ? ?.

JawabIsti’aadzah artinya : memohon perlindungan dan penjagaan dari hal yang dihindari. Beristi’adzah kepada Allah ta’ala adalah hal yang disyari’atkan tanpa ada perselisihan di antara kaum muslimin. Banyak dalil yang menjelaskan hal ini, di antaranya Allah ta’ala berfirman :

قُلْ أَعُوذُ بِرَبّ النّاسِ * مَلِكِ النّاسِ * إِلَـَهِ النّاسِ * مِن شَرّ الْوَسْوَاسِ الْخَنّاسِ * الّذِى يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النّاسِ * مِنَ الْجِنّةِ وَالنّاسِ

”Katakanlah : Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia, Raja manusia, Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dada manusia. Dari (golongan) jin dan manusia” [QS. A-Naas : 1-6].

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللّهِ مِنَ الشّيْطَانِ الرّجِيمِ

“Apabila kamu hendak membaca Al-Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari syaithan yang terkutuk” [QS. An-Nahl : 98].
Juga dalam hadits shahih :

عَنْ خَوْلَةَ بِنْتَ حَكِيمٍ السُّلَمِيَّةَ، تَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا، ثُمَّ قَالَ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ "

Dari Khuwailah bintu Hakiim As-Sulamiyyah, ia berkata : Aku mendengar Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa slalam bersabda : “Barangsiapa yang tiba di suatu tempat, maka ucapkanlah : ‘Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk-Nya’; niscaya tidak ada satu pun yang akan memudlaratkannya hingga ia beranjak dari tempat tersebut” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2708, At-Tirmidziy no. 3437, dan yang lainnya].

Namun, bolehkah beristi’adzah (meminta perlindungan) kepada makhluk ?. Hal ini perlu perincian :

1.      Meminta perlindungan kepada makhluk dari hal-hal yang hanya Allah ta’ala saja yang dapat memberikan perlindungan. Seperti misal : Beristi’adzah kepada makhluk dari kemurkaan Allah, gangguan syaithaan, adzab kubur, siksa neraka, dan yang semisalnya.

Hukumnya haram, bahkan termasuk kesyirikan. Allah ta’ala berfirman :

وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [QS. Al-A’raaf : 200].

Setelah menyebutkan ayat tersebut, Al-Imaam Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :

وَلا يَصِحُّ أَنْ يَسْتَعِيذَ بِمَخْلُوقٍ مِنْ مَخْلُوقٍ

“Dan tidak dibenarkan beristi’adzah kepada makhluk dari (gangguan) makhluk” [Al-Asmaa’ wash-Shifaat, 1/477].

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

لا يستعاذ إلا بالله أو بصفة من صفاته

“Tidak boleh beristi’adzah kecuali kepada Allah atau kepada sifat dari sifat-sifat-Nya" [Fathul-Baariy, 11/546].

2.      Meminta perlindungan kepada makhluk/manusia yang telah mati atau yang tidak hadir atau makhluk-makhluk lain yang tidak mempunyai kemampuan untuk memberikan perlindungan.
Hukumnya haram. Allah ta’ala berfirman :

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا

“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” [QS. Al-Jin : 6].

وَمَا يَسْتَوِي الأحْيَاءُ وَلا الأمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ

“Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar” [QS. Faathir : 22].

Sisi pendalilan : Seandainya orang yang dikubur tidak dapat mendengar, bagaimana bisa ia dapat memberikan perlindungan ?.

3.      Meminta perlindungan kepada makhluk (manusia, binatang, tempat, atau yang lainnya) yang mempunyai kemampuan untuk melindungi dari yang diminta.

Hal ini diperbolehkan. Dalilnya banyak, di antaranya :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " تَكُونُ فِتْنَةٌ النَّائِمُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ الْيَقْظَانِ، وَالْيَقْظَانُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ الْقَائِمِ، وَالْقَائِمُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ السَّاعِي، فَمَنْ وَجَدَ مَلْجَأً أَوْ مَعَاذًا فَلْيَسْتَعِذْ "

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Akan terjadi fitnah. Orang yang tidur padanya lebih baik daripada orang yang bangun/terjaga. Orang yang bangun/terjaga padanya lebih baik daripada orang yang berdiri. Dan orang yang berdiri padanya lebih baik daripada orang yang berjalan cepat. Barangsiapa yang mendapatkan tempat perlindungan, hendaklah ia berlindung (kepadanya)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2886].

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " نَحْنُ .... وَيَرْحَمُ اللَّهُ لُوطًا لَقَدْ كَانَ يَأْوِي إِلَى رُكْنٍ شَدِيدٍ

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “….Semoga Allah merahmati Luuth, sungguh ia telah berlindung pada keluarga yang kuat..” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3372 & 4537, Muslim no. 151, dan yang lainnya].

Dan telah lewat pembahasan di blog ini tentang Isti’aadzah.
Kemudian menginjak pada hadits yang Anda tanyakan.
Beberapa muhaqqiq memberikan ulasan yang berbeda mengenai hadits tersebut, terutama pada tambahan (ziyaadah) lafadh: ‘wa Rasuulihi’ (dan Rasul-Nya). Hadits denganziyaadah lafadh itu diriwayatkan oleh Ahmad 3/482 : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hubbaab, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abul-Mundzir Sallaam bin Sulaimaan An-Nahwiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aashim bin Abin-Nujuud, dari Abu Waail, dari Al-Haarits bin Yaziid Al-Bakriy.
Dhahir sanad ini hasan. Zaid, Sallam, dan ‘Aashim adalah orang-orang yang hasan haditsnya. Adapun Abu Waail, tsiqah.

Diriwayatkan pula dengan tambahan lafadh oleh Ath-Thabaraaniya dalam Al-Kabiir no. 3325, Abul-Fath Al-Azdiy dalam Al-Makhzuun fii ‘Ilmil-Hadiits no. 20, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah no. 2104, dan Ibnul-Atsiir  dalam Usudul-Ghaabah 1/369; semuanya dari Sallaam Abul-Mundzir Al-Qaariy, dari ‘Aashim, dan selanjutnya seperti di atas.

Diriwayatkan pula tanpa tambahan lafadh oleh Ahmad  3/482, At-Tirmidziy  no. 3273, dan Ibnu Tsartsaal dalam Juuz-nya no. 238; dari dua jalan (‘Affaan dan Ibnu ‘Uyainah), dari Sallaam, dan selanjutnya seperti di atas.

Riwayat Sallaam dari ‘Aashim tanpa tambahan lafadh mempunyai mutaba’ah dari Abu Bakr bin ‘Ayyaasy, sebagaimana diriwayatkan Ath-Thabariy dalam Tafsiir-nya 10/275 dan At-Taariikh no. 220 dari jalan Abu Kuraib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin ‘Ayyaasy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aashim, dan selanjutnya seperti di atas.

Abu Bakr bin ‘Ayyaasy disebutkan bahwa ia seorang yang shaduuq, namun mengalamiikhtilaath pada akhir hayatnya.

Ada yang mengatakan bahwa tambahan lafadh wa Rasuulihi itu tidak mahfuudh, ada juga yang mengatakan mahfuudh.

Seandainya mahfuudh, maka isti’adzah (meminta perlindungan) pada Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam diucapkan shahabat (Al-Haarits bin Yaziid Al-Bakriy) di hadapan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika masih hidup. Kontentnya sendiri adalah permintaan para shahabat agar beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menjadi nabi seperti nabi yang diutus kepada kaum ‘Aad yang kemudian membinasakan kaumnya sendiri (karena kedurhakaan mereka). Dan ini termasuk hal yang diperbolehkan sebagaimana perincian penjelasan isti’adzah di atas.

Terkait dengan tawassul, maka kurang pas membawa dalil ini kepada tawassul karena tidak tepat konteksnya.
Wallaahu a’lam.


Sumber: http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2011/10/dalil-kebolehan-tawassul-aku-berlindung.html

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Choose Your Own Language

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © Pebruari 2017 - FRIDA ACEDA - All Rights Reserved
Design by Utak-Atik Mediatama Sumedang