Siapakah ahlul fatrahitu? Apakah di zaman kita ini ada>ahlul fatrah? Dan bagaimana status mereka (di akhirat)?
Jawab:
Ahlul fatrah adalah orang-orang yang hidup di masa yang
tidak ada ajaran Rasul yang sampai kepada mereka, serta tidak diturunkan
Kitab untuk mereka. Maka masa fatrah adalah masa
antara Nabi Isa ‘alaihissalam dan masa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi
Wasallam. AllahTa’ala berfirman:
{يَاأَهْلَ
الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَى فَتْرَةٍ مِنَ
الرُّسُلِ}
“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syari’at Kami) kepadamu ketika terputus (pengutusan) rasul-rasul” (QS. Al Maidah: 19).
“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syari’at Kami) kepadamu ketika terputus (pengutusan) rasul-rasul” (QS. Al Maidah: 19).
Maka
masa fatrah adalah masa ketika tidak ada Rasul dan tidak ada
Kitab. Dan termasuk ahlul fatrah juga, orang-orang yang hidup
terisolasi dari ulama Islam, atau jauh dari kaum Muslimin, serta dakwah Islam
tidak sampai kepada mereka. Allah Ta’ala berfirman:
{وَمَا كُنَّا
مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا}“Dan
Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul” (QS. Al Isra:
15).
Adapun
mengenai status mereka, sesuai kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
HUKUM AHLUL FATRAH
تعريف الفترة: (هي ما بين كل نبيين كانقطاع الرسالة بين عيسى عليه السلام ومحمد صلى الله عليه وسلم) ((تفسير القرآن العظيم)) لابن كثير 2/35.
Fatrah yaitu waktu diantara (sela) para nabi seperti terputusnya/kosongnya risalah antara Nabi Isa Alaihissalam dan Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wa Sallam (Tafsir Ibnu Katsir : 2/35.
Demikia juga dijelaskan Al-ALusi dalam tafsirnya ruhul ma'ani :
وقال الألوسي في تفسيره: (أجمع المفسرون بأن الفترة هي انقطاع ما بين رسولين) ((روح المعاني)) (6/103)، وانظر: ((تفسير الطبري)) (10/156)، ((جمع الجوامع)) للسبكي (1/63).
Ijma' para ahli tafsir bahwasanya Fatrah itu terputusnya/kekosongan antara dua rasul. (kitab Ruhul Ma'ani : 6/103) juga lihat (Tafsir Al-Qurtubi : 10/156) dan (jam'ul jawami' lissubki : 1/63)
Definisi ini juga dijelaskan oleh Imam As-Suyuthi :
وأهل الفترة: (هم الأمم الكائنة بين أزمنة الرسل الذين لم يرسل إليهم الأول، ولا أدركوا الثاني كالأعراب الذين لم يرسل إليهم عيسى ولا لحقوا النبي صلى الله عليه وسلم..) ((الحاوي للفتاوي)) للسيوطي (2/209)،
Adapun ahlul fatrah adalah umat manusia yang hidup nya tidak menemui dakwah awal serta tidak juga menemui dakwa kedua seperti contohnya orang Arab yang tidak diutus atas mereka nabi Isa dan juga tidak mengetahui ajaran Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wa Sallam (Al-Hawi lil fatawaa lissuyuthi : 2/209)
Setelah kita tau Ahlul Fatrah itu tidak menerima risalah antara dua kenabian, maka selanjutnya bagaimana hukum mereka kelak di akhirat apakah akan mendapatkan surga atau sebaliknya neraka yang akan mereka terima? Seperti kita tau bahwa sebagian kecil dari umat Islam ini berkeyakinan bahwa kedua Orang Nabi Muhammad SAW yang hidup pra Islam (masa Fatrah) ini masuk neraka, padahal TIDAK demikian. Mari kita simak beberapa pandangan dan pendapat mayoritas para ulama' tentang Hukum Ahlul Fatrah:
Ibnu Taimiyah mengatakan :
ومن لم تقم عليه الحجة في الدنيا بالرسالة كالأطفال والمجانين وأهل الفترات فهؤلاء فيهم أقوال أظهرها ما جاءت به الآثار أنهم يمتحنون يوم القيامة، فيبعث إليهم من يأمرهم بطاعته، فإن أطاعوه استحقوا الثواب، وإن عصوه استحقوا العذاب. ((الجواب الصحيح)) (1/312)، وانظر: ((درء التعارض)) (8/401)، ((مختصر الفتاوى المصرية)) (ص643)، و(مجموع الفتاوى)) (24/371-372). .
“Manusia yang belum ditegakkan hujjah padanya, seperti anak-anak kecil, orang gila, ahlul fathrah, nasih mereka sebagaimana terdapat pada banya atsar, yaitu mereka akan dites pada hari qiamat. Ada yang diutus untuk memerintahkan mereka pada ketaatan. Jika mereka taat, mereka diberi kebaikan (surga) . Jika mereka enggan taat, diberi siksa (neraka) ”. (kitab Al-Jawab Ash-Shohih : 1/312), liahat juga (Dar'ut Ta'arudl : 8/401), (Mukhtashar Al-Fatawaa Al-Mishiriyah : 643) dan (Majmu' Fatawaa Li Ibni Taimiyah : 24/371-372)
Ibnu Katsir mejelaskan tentang kedudukan mereka di akhirat kelak dlam Tafsirnya:
وقد اختلف الأئمة رحمهم الله تعالى فيها قديماً وحديثاً وهي الولدان الذين ماتوا وهم صغار وآباؤهم كفار ماذا حكمهم؟ وكذا المجنون والأصم والشيخ الخرف ومن مات في الفترة ولم تبلغه دعوته وقد ورد في شأنهم أحاديث أنا أذكرها لك بعون الله وتوفيقه) ((تفسير القرآن العظيم)) لابن كثير (3/28)،
Al Hafidz Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Para ulama terdahulu dan ulama masa sekarang berbeda pendapat mengenai anak kecil yang meninggal dalam keadaan kafir, bagaimana statusnya? Demikian juga orang gila, orang tuli, orang tua yang pikun dan ahlul fatrah yang belum pernah mendengar dakwah, terdapat beberapa hadits yang membahas status mereka. Dengan inaayah dan taufiq Allah, akan saya sampaikan kepada anda”. (Tafsir Al-Qur'anul 'Adzim Ibnu Katsir : 3/28)
Kemudian beliau memaparkan hadits-hadits tersebut, lalu menjelaskan pendapat-pendapat yang ada, dan memilih pendapat yang menyatakan bahwa mereka akan dites kelak di hari kiamat. Beliau berkata:
وهذا القول يجمع بين الأدلة كلها، وقد صرحت به الأحاديث المتقدمة المتعاضدة الشاهد بعضه لبعض..) (تفسير القرآن العظيم)) (3/30). .
“Pendapat inilah yang mencakup semua dalil yang ada. Dan hadits-hadits yang telah saya sebutkan pun menegaskannya dan saling menguatkan” (Tafsir Al-Qur'anul 'Adzim Ibnu Katsir : 3/30)
Bahkan, Imam As-Suyuthi mengatakan orang yang meninggal pada masa fatrah itu selamat dari neraka :
قال السيوطي – رحمه الله-: (وقد أطبقت أئمتنا الأشاعرة من أهل الكلام والأصول، والشافعية من الفقهاء على أن من مات ولم تبلغه الدعوة يموت ناجياً…) ((الحاوي للفتاوي)) للسيوطي (2/202).
“Para imam-imam Asya'irah yang termasuk ahlul kalam dan ahlul ushul, serta ulama ahli fiqih madzhab Syafi’i berpendapat bahwa orang yang mati dalam keadaan belum pernah mendengar Islam, ia selamat dari neraka.. (Al Haawi Lil Fatawa, 2/202).
Demikian pula orang tua Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang termasuk hidup dalam masa Fatrah yang tidak jatuhnya siksa pada mereka berdua. Wallahu a'lam
Benarkah orang tua Nabi Muhammad itu kafir? Adakah bukti?
Kemarin saat di Makassar, kami sempat bertemu dengan seorang
ikhwan yang muallaf, sejak 2010 (kalau tidak salah). Saat ini ia menjadi
seorang hafizh Al-Qur’an, suaranya merdu dan enak sekali didengar.
Namun sayangnya, tentang ibunya ia cerita masih belum masuk Islam.
Kami cuma doakan saja, moga ibunya bisa masuk Islam dengan segera. Ia katakan
juga bahwa ibunya sebenarnya sudah percaya bahwa Yesus itu bukan Tuhan. Cuma
karena pihak keluarga ibunya saja yang mungkin membuat ortunya belum bisa
bersyahadat.
Apakah mungkin seorang
anak muslim bahkan hafizh, orang tuanya itu kafir? Apa mencacati anaknya yang
hafizh tadi dengan keadaan orang tua seperti itu?
Coba renungkan sendiri pada Nabi kita Muhammad dari dalil-dalil
yang berbicara. Lihat juga keluarga para nabi lainnya. Ada Nabi yang istri dan
anaknya kafir. Ada Nabi yang bapaknya kafir. Apakah mencacati ia sebagai
seorang Nabi? Apalagi kalau seorang Nabi seperti Nabi Muhammad memiliki orang
tua yang belum sempat beliau dakwahi.
Istri Nabi Nuh dan Nabi Luth Kafir
Allah Ta’ala berfirman,
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ
وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ
فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ
ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
“Allah membuat isteri Nuh
dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di
bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu
kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu
tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada
keduanya): “Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam).” (QS. At-Tahrim: 10)
Anak Nabi Nuh Kafir
Allah Ta’ala berfirman,
وَقِيلَ يَأَرْضُ ابْلَعِي مَآءَكِ وَيَسَمَآءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ
الْمَآءُ وَقُضِيَ الأمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيّ وَقِيلَ بُعْداً
لّلْقَوْمِ الظّالِمِينَ * وَنَادَى نُوحٌ رّبّهُ فَقَالَ رَبّ إِنّ ابُنِي مِنْ
أَهْلِي وَإِنّ وَعْدَكَ الْحَقّ وَأَنتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ * قَالَ
يَنُوحُ إِنّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَ تَسْأَلْنِـي
مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنّيَ أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Dan difirmankan: “Hai
bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan air pun
disurutkan, perintah pun diselesaikan dan bahtera itu pun berlabuh di atas
bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim“. Dan Nuh berseru
kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk
keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah
Hakim yang seadil-adilnya”. Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia
bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya
(perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon
kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku
memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak
berpengetahuan.” (QS. Huud : 44-46)
Ayah Nabi Ibrahim (Azar) Kafir
Dalam ayat disebutkan,
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لأبِيهِ إِلاّ عَن مّوْعِدَةٍ
وَعَدَهَآ إِيّاهُ فَلَمّا تَبَيّنَ لَهُ أَنّهُ عَدُوّ للّهِ تَبَرّأَ مِنْهُ
إِنّ إِبْرَاهِيمَ لأوّاهٌ حَلِيمٌ
“Dan permintaan ampun dari
Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji
yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi
Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari
padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya
lagi penyantun” (QS. At-Taubah: 114).
Orang Tua Nabi Muhammad Dibicarakan dalam
Al-Qur’an
Dalam ayat disebutkan,
مَا كَانَ لِلنّبِيّ وَالّذِينَ آمَنُوَاْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ
لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوَاْ أُوْلِي قُرْبَىَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ
لَهُمْ أَنّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadalah sepatutnya bagi
Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi
orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat
(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah
penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah : 113).
Kalau kitas telusuri ayat di atas ternyata membicarakan tentang
orang tua Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Abi Hatim dalam kitab tafsirnya menyebutkan, telah
menceritakan kepadaku bapakku, telah menceritakan kepadaku Khalid bin Khadasy,
telah menceritakan padaku ‘Abdullah bin Wahb, dari Ibnu Juraij, dari Ayyub bin
Hani’, dari Masruq, dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke daerah pekuburan. Kami pun
mengikuti beliau. Sesudah sampai, beliau duduk di samping sebuah kubur. Beliau
berbicara (dengan lirih), kemudian beliau menangis. Kami pun menangis karena
mengikuti beliau menangis. ‘Umar bin Al-Khattab lantas berdiri. ‘Umar berbicara
pada Nabi dan Nabi pun berbicara pada kami.
Nabi berkata, “Apa yang membuat kalian menangis?”
Para sahabat lantas menjawab, “Kami menangis lantaran engkau
menangis.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
إِنَّ القَبْرَ الَّذِي جَلَسْتُ عِنْدَهُ قَبْرُ آمِنَة، وَإِنِّي
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي زِيَارَتِهَا فَأَذِنَ لِي
“Perlu diketahui bahwa kubur yang aku duduk di sampingnya adalah
kubur Aminah (ibuku). Aku meminta izin pada Rabbku untuk diperbolehkan
menziarahi kubur ibuku. Lantas aku diizinkan.”
Dalam riwayat lain disebutkan,
وَإِنِّي اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي الدُّعَاءِ لَهَا فَلَمْ يَأْذَنْ
لِي
“Aku meminta izin pada Rabbku untuk mendo’akan ibuku, namun aku
tidak diizinkan.”
Lalu turunlah ayat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam surat
At-Taubah ayat 113 yang telah disebutkan di atas,
مَا كَانَ لِلنّبِيّ وَالّذِينَ آمَنُوَاْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ
لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوَاْ أُوْلِي قُرْبَىَ…
“Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada
Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat (nya), ….” (QS.
At-Taubah : 113).
(HR. Ibnu Abi Hatim. Sanad
dan mantan hadits dekat seperti itu. Dalam riwayat ini terdapat Ayyub bin
Hani’, ia adalah perawi yang shaduq, namun lemah hafalannya sebagaimana
disebutkan dalam At-Taqrib. Namun hadits ini memiliki syawahid atau penguat. Lihat tahqiq Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 358)
Benarkah Orang Tua Nabi di Neraka?
Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa ada seseorang yang bertanya,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَيْنَ أَبِي؟
“Wahai Rasulullah di mana tempat kembali bapakku?”
فِي النَّارِ
“Di neraka.”
Ketika orang tersebut berpaling, Rasul memanggilnya lantas berkata,
إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّار
“Sesungguhnya ayahku dan
ayahmu di neraka.” (HR. Muslim, no. 203)
Dari hadits di atas kita bisa mengambil beberapa faedah yang kami
sarikan dari penjelasan Imam Nawawi:
1- Siapa saja yang mati dalam keadaan kafir, maka ia berada di
neraka dan tak bermanfaat hubungan keluarga dekat.
2- Dalam hadits ini dapat diambil pelajaran bahwa siapa yang mati
pada masa fatrah (masa kosong di antara
dua nabi) dan saat itu ada kebiasaan orang-orang Arab menyembah berhala,
maka ia dihukumi sebagai penduduk neraka. Bukan berarti di masa itu mereka
tidak mendapatkan dakwah. Bahkan dakwah dari Nabi Ibrahim dan para nabi lainnya
sudah ada.
3- Ini menunjukkan cara bergaul Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
sangat baik. Kalau orang tua Nabi Muhammad sendiri dinyatakan di neraka dan itu
memang terasa berat bagi beliau.
Orang tua dari orang yang bertanya pun demikian. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengungkapkan “ayahku dan ayahmu di neraka” menunjukkan bahwa
beliau merasa senasib dengannya dalam musibah.
Imam Nawawi rahimahullah membawakan
judul bab untuk hadits di atas “Bab: Penjelasan mengenai orang yang di atas
kekafiran tempatnya di neraka. Syafa’at dan hubungan kerabat dekat tidaklah
bermanfaat untuknya.” (Syarh Shahih Muslim, 3: 70).
Hadits yang Tidak Jelas dan Lemah
Sebenarnya kalau mau melihat berita-berita yang menyatakan tidak
kafirnya orang tua nabi dan selamatnya mereka karena di atas iman adalah
berdasarkan pemahaman yang tidak jelas. Karena berita tersebut berasal dari
hadits bermasalah.
Penulis
kitab ‘Aunul
Ma’bud menyatakan:
“Hadits-hadits yang menyebutkan berimannya orang tua Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan
selamatnya mereka, semuanya adalah hadits yang mawdhu, dusta dan tidak benar.
Sebagian hadits tersebtu dha’if jiddan (sangat
lemah).
Menurut kesepatan ulama
pakar hadits, hadits-hadits tersebut tidaklah shahih sama sekali. Alasan mawdhu’ (berisi perawi pendusta) dinyatakan oleh Ad-Daruquthni,
Al-Jauzaqani, Ibnu Syahin, Al-Khatib, Ibnu ‘Asakir, Ibnu Nashir, Ibnul Jauzi,
As-Suhaili, Al-Qurthubi, Ath-Thabari, Fath Ad-Diin bin Sayyid An-Naas, Ibrahim
Al-Halabi dan ulama lainnya.” (‘Aun
Al-Ma’bud, 12: 358)
Lemahnya Pendapat Imam Suyuthi rahimahullah
Al-‘Azhim Abadi, penulis ‘Aun Al-Ma’bud menyatakan dalam rangka
membantah perkataan Imam As-Suyuthi yang menyatakan tidak kafirnya orang tua
Nabi:
“Asy-Syaikh Jalaluddin As-Suyuthi telah menyelisihi para hufazh
(pakar hadits) dan para ulama muhaqqiqin. Beliau menyatakan bahwa orang tua
nabi mati dalam keadaan beriman dan selamat. Bahkan Imam Suyuthi sampai menulis
beberapa risalah untuk mendukung hal ini. Di antara risalah tersebut berjudul
“At-Ta’zhim wa Al-Minnah fi Anna Abaway Rasulillah fi Al-Jannah” yaitu
pengagungan dan karunia yang membuktikan kedua orang tua Rasulullah berada di
surga.”
Al-‘Azhim Abadi menyatakan, “Al-‘Alamah As-Suyuthi terlalu
bergampang-gampangan dalam masalah ini. Pendapat beliau tak perlu dianggap.
Karena perkataan beliau telah menyelisihi pendapat ulama yang lebih mumpuni.” (‘Aun Al-Ma’bud, 12: 358)
Telah Ada Ijma’, Orang Tua Nabi Kafir
Bahkan telah ada ijma’ dari para ulama akan keadaan orang tua Nabi
Muhammad.
Ibnul Jauzi berkata:
وأما عبد الله فإنه مات ورسول الله صلى الله عليه وسلم حمل ولا خلاف
أنه مات كافراً، وكذلك آمنة ماتت ولرسول الله صلى الله عليه وسلم ست سنين
”Adapun ’Abdullah (ayah Nabi), ia mati ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa
sallam masih berada dalam kandungan, dan ia mati dalam keadaan kafir
tanpa ada perselisihan di antara para ulama. Begitu pula Aminah (tentang
kekafirannya tanpa ada khilaf), di mana ia mati ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa
sallam berusia enam tahun.” (Al-Mawdhu’at, 1:
283).
Al-’Allamah ’Ali bin Muhammad Sulthan Al-Qaari telah menukil
adanya ijma’ tentang kafirnya kedua orang tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam dengan perkataannya :
وأما الإجماع فقد اتفق السلف والخلف من الصحابة والتابعين والأئمة
الأربعة وسائر المجتهدين على ذلك من غير إظهار خلاف لما هنالك والخلاف من اللاحق
لا يقدح في الإجماع السابق سواء يكون من جنس المخالف أو صنف الموافق
”Adapun ijma’, maka sungguh ulama salaf dan khalaf dari kalangan
shahabat, tabi’in, imam empat, serta seluruh mujtahidin telah bersepakat
tentang hal tersebut (kafirnya kedua orang tua Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam) tanpa adanya khilaf. Jika memang terdapat khilaf setelah adanya
ijma’, maka tidak mengurangi nilai ijma’ yang telah terjadi sebelumnya. Sama
saja apakah hal itu terjadi pada orang-orang menyelisihi ijma’ (di era
setelahnya) atau dari orang-orang yang telah bersepakat (yang kemudian ia
berubah pendapat menyelisihi ijma’) (Adilltaul-Mu’taqad Abi Haniifah hlm. 7.)
Silahkan Simpulkan
Setelah membaca tulisan ini, Anda, kami yakin cerdas bisa
menyimpulkan manakah pendapat yang benar. Ingin menerima hadits dari Nabi
sendiri atau ingin menerima pendapat yang tidak berdasar?
Silakan menyimpulkan.
Allahumma inna nas-aluka
’ilman naafi’a, Ya Allah kami meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat.
Sumber: https://rumaysho.com/14044-bukti-orang-tua-nabi-muhammad-kafir.html
--0o0--
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !